Sabtu, 08 Desember 2012

Info salon VIP

Rekan-Rekan berada dalam artikel : Info salon VIP
selamat membaca dan menikmati semoga bisa
menambah semangat sobat2 menghadapi hari demi hari....

Untuk sementara waktu artikel tentang :  Info salon VIP
sedang kami edit ulang untuk kepuasan smua pengunjuang blog.
setelah lengkap dan akurat segera kami posting kembali
artikelnya, trims sebelumnya

Untuk pengganti sementara artikel yang sobat2 cari, admin ganti
dengan cerita plus dibawah ini ya...
semoga ceritanya bisa menghibur sobat-sobat...


Mirna, Menantu Seksi

Berdiri di depan pintu rumahku, menantu permpuanku, Mirna, mendekatkan kepalanya
ke arahku dan berbisik, “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.” Dia memberiku
sebuah kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu berjalan menyusul suami dan
anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Yoyok menempatkan bayinya pada
dudukan bayi itu, dan seperti biasanya, dia terlalu jauh untuk mendengar apa
yang dibisikkan istrinya tercintanya terhadap Ayah kandungnya.

Mirna melenggang di jalan kecil depan rumah dengan riangnya bagai seorang gadis
remaja yang menggoda. Yoyok tak mengetahui ini juga, ini semua dilakukan
istrinya hanya untukku…

Mungkin kalian mengira aku terlalu mengada-ada soal ini, tapi kenyataannya apa
yang Mirna lakukan ini tidak hanya sekali ini saja. Dan sejak aku tak terlalu
terkejut lagi, aku merasa ada sesuatu yang hilang jika dia tidak melakukannya
saat berkunjung ke rumahku. Aku merasa ada getaran pada penisku, dan sebagai
seorang lalaki biasa yang masih normal, pikiran ‘andaikan…’ yang wajar
menurutku selalu hadir di benakku.

Mirna adalah seorang wanita yang bertubuh mungil, tapi meskipun begitu ukuran
tubuhnya tersebut tak mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya terlihat
tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut hitam pekat yang dipotong
sebahu, dia sering mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki energi dan keuletan
yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Sebuah keindahan nan elok kalau
ingin mendiskripsikannya. Dia selalu sibuk, selalu terlihat seakan dikejar waktu
tapi tetap selalu terlihat manis. Dia masuk dalam kehidupan keluarga kami sejak
dua tahun lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga kami
sekian lamanya.

Yoyok bertemu dengannya saat masih kuliah di tahun pertama. Mirna baru saja
lulus SMU, mendaftar di kampus yang sama dan ikut kegiatan orientasi mahasiswa
baru. Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai pengawas dalam kelompoknya Mirna.
Seperti yang sering mereka bilang, cinta pada pandangan pertama.

Mereka menikah di usia yang terbilang muda, Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun.
Setahun kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian
terasa sangat menyelimuti keluarga kami. Suasana saat itu semakin membuat kami
dekat. Mirna mempunyai selera humor yang sangat bagus, selalu tersenyum riang,
dan juga menyukai bola. Dia sering terlihat bercanda dengan Yoyok, mereka benar-benar
pasangan serasi. Dia selalu memberi semangat pada Yoyok yang memang memerlukan
hal itu.

Yoyok dan Mirna sering berkunjung kemari, membawa serta bayi meraka. Mereka
telah mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu besar. Aku pikir mereka
merasa kalau aku membutuhkan seorang teman, karena aku seorang lelaki tua yang
akan merasa kesepian jika mereka tak sering berkunjung. Disamping itu, aku
memang sendirian di rumah tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila
berada disini, dibandingkan rumah kontrakannya yang sempit.

Ibunya Yoyok telah meninggal karena kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan
kami. Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang
kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu meratapi
itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan
serta kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sekedar patah
hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita untuk mengisi sisa hidupku lagi.
Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok wanita. Tak terlalu.

Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan keluarga kami. Kami sangat
menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan, Yoyok melanjutkan pendidikannya
untuk gelar MBA, dan Mirna bekerja sebagai Teller di sebuah Bank swasta.

Kunjungan mereka padaku tak berubah sedikitpun, cuma bedanya sekarang mereka
sering membawa beberapa bingkisan juga. Tentu saja, diasamping itu juga
perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.

Beberapa bulan lalu Mirna dan bayi mereka datang saat Yoyok masih di kelasnya.
Dia duduk disana menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berusaha untuk
menidurkan bayinya. Aku tak tahu caranya, tapi pemandangan itu entah bagaimana
telah menggelitik kehidupan seksualku.

“Ngomong-omong… kapan Ayah akan segera menikah lagi?” dia bertanya dengan
getaran pada suaranya.
“Aku tak tahu. Aku kelihatannya belum terlalu membutuhkan kehadiran seorang
wanita dalam hidupku. Lagipula, aku telah memiliki kalian yang menemaniku.”
“Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang bicara soal seks.” matanya mengedip
kearahku saat dia bicara.
“Apa?”
“Ayah tahu, seks.” dia hampir saja tertawa sekarang. “Ketika seorang lelaki dan
wanita sudah telanjang dan memainkan bagiannya masin-masing?”
“Ya, aku tahu seks,” aku membela diri. “Lagipula kamu pikir darimana suamimu
berasal?”
“Yah, aku hanya khawatir kalau Ayah sudah melupakannya. Maksudku, apa Ayah tak
merindukan hal itu?”
“Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk hal seperti itu.”
“Hei! Lelaki tak pernah bosan dengan hal itu. Setidaknya begitulah dengan
putramu.”
“Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia mempunyai seorang istri yang cantik.”
“Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap Ayah membutuhkannya,” dia
menekankan suaranya pada kata ‘Ayah’.
“Terima kasih sudah ngobrol,” kataku, masih terdengar sengit. Ada sedikit jeda
pada perbincangan itu, saat dia masih menekan kehidupan seksualku. Aku pikir
bukanlah urusannya untuk mencampuri hal itu meskipun kadang aku membayangkannya
juga.

Dia pandang bayinya, yang akhirnya tertidur, dan memberinya sebuah senyuman
rahasia, sepertinya mereka berdua akan berbagi sebuah rahasia besar. Masih
memandangnya, tapi dia berbicara padaku, “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
“Apa!!!?”
“Aku serius.” Mirna menatapku. “Kalau Ayah menginginkan aku… Ayah adalah seorang
lelaki yang tampan. Ayah membutuhkan seks. Disamping itu, aku bersedia, kan?”

Aku pikir dia sedang bercanda. Tapi wanita yang menggoda ini tidak sedang main-main.
Tapi tetap saja tak mungkin aku melakukannya dengan istri dari anak kandungku
sendiri. “Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir aku akan menolak tawaranmu.”
suaraku terdengar penuh dengan keraguan saat mengucapkannya.
Mirna mencibirkan bibir bawahnya, aku tak bisa menduga apa yang sedang
dirasakannya. Dia tetap terlihat menawan, dan aku merasa Yoyok sangat beruntung.
Dia bicara dengan pelan. “Dengar, Yoyok tak akan tahu. Maksudku, aku tak akan
mengatakannya kalau Ayah juga menjaga rahasia. Dan bukan berarti aku menawarkan
diriku pada setiap lelaki yang kutemui. Aku bukan wanita seperti itu dan aku
bisa mengatur agar sering berkunjung kemari. Dan aku tahu Ayah menganggapku
cukup menarik kan, sebab aku sering melihat Ayah memandangi pantatku.”

Aku tak mungkin menyangkalnya. Mirna mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia
memiliki bongkahan pantat yang indah diatas kedua kakinya. “Ya, kamu memang
memiliki pantat yang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku ingin berselingkuh
dengan menantuku sendiri.”

Dia berhenti sejenak, tapi Mirna kelihatannya tak akan menyerah begitu saja. “Yah,
tapi jangan lupa. “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”

Dan itulah awal dari semua ini.

Seiring minggu yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu
berusaha untuk menggodaku, membuat puting sususnya menyentuh dadaku saat dia
menyerahkan bayinya padaku untuk ku gendong. Atau dia masukkan jarinya di
mulutnya saat Yoyok tak melihat, dan menghisapnya dengan pandangan penuh
kenikmatan ke arahku. Suatu waktu dia duduk di lantai dengan kaki menyilang dan
sedang bermain dengan bayinya, dia memandangku tepat di mata, tersenyum, dan
menyentuh pangkal paha di balik celana jeansnya. Aku tak akan melupakan hal itu.
Dan dia entah bagaimana selalu menemukan cara untuk berduaan denganku walaupun
sesaat, dan dia memberiku ciuman singkat yang penuh gairah, tepat di bibir. Itu
semua dilakukannya berulang-ulang.

“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik di belakang Yoyok saat
suaminya itu sedang memasukkan DVD pada player.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik saat mendekat untuk
menyodorkan minuman padaku.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia membisikkannya setiap kali dia
berpamitan.

Dan sekarang, aku bukanlah terbuat dari batu, dan aku tak akan bilang tingkah
lakunya itu tidak memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat manis dan mungil,
dan meskipun setelah melahirkan bayi pertamanya tak membuat tubuhnya berubah
seperti kebanyakan wanita. Dia tetap langsing, dan manis, dan dia menawarkan
dirinya untuk kumiliki. Tapi aku tak akan memulai langkah pertama untuk tidur
dengan menantuku sendiri, tak perduli semudah apapun itu.

Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada diriku sendiri.

Beberapa minggu yang lalu kami semua berkumpul di rumahku untuk melihat
pertandingan bola. Aku mengambil beberapa kaleng minuman dan sedang berada di
dapur untuk menyiapkan beberapa makanan ringan saat Mirna muncul dari balik
pintu itu.

“Hai!” sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur. “Ayah sudah siap untuk
pertandingan nanti?”
“Hampir. Aku sedang membuat makanan untuk keluarga kecil kita, dan aku punya
beberapa wortel untuk cucuku. Aku pikir dia akan suka dan warnanya sama dengan
kesebelasan yang akan bertanding nanti, kan?
Mirna tertawa dan berkata. “Aku rasa dia tak akan perduli. Disamping itu
bukankah ada hal lain yang lebih baik yang bisa Ayah kerjakan untukku?”
“Jangan menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan lakukan apa yang menurutku
akan disukai oleh cucuku.” aku memandangnya. Mirna berdiri di sana memakai
bandana merah kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu. Dia memakai kaos yang
sedikit ketat yang bahkan tak sampai ke pinggangnya, dan pusarnya mengedip
padaku dibalik kaosnya. Kancing jeansnya membuatnya kelihatan seperti anak-anak
diera bunga tahun 60an, dan dia memakai sandal dengan bagian bawah yang tebal
yang menjadikannya lebih tinggi sepuluh centi. Kuku kakinya dicat merah senada
dengan lipstiknya, dan itu menjadi terlihat dengan sangat menarik dibalik
denimnya. Dia selalu suka mengenakan perhiasan, dan dia memakainya pada leher,
telinga, pergelangan tangan dan bahkan di jari kakinya. Dia membuatku berandai-andai
jika saja aku masih remaja, jadi aku dapat memacari gadis sepertinya. Mungkin
suatu waktu nanti aku harus pergi ke kampus dan mencari gadis-gadis. Khayalanku
terhenti saat menyadari kalau Yoyok dan bayinya tidak mengikutinya masuk. “Mana
anggota keluargamu yang lainnya?” aku bertanya ingin tahu.

“Mereka akan segera datang. Yoyok pergi ke toko perkakas untuk membeli peralatan
mesin cuci yang rusak. Dia ingin membawa serta anaknya. ‘Perjalanan ke toko
perkakas yang pertama bersama Ayah’ kurasa yang dikatakannya padaku.” dia
tersenyum. “Apa Ayah mempermasalahkan saat pertama kalinya mengajak Yoyok ke
toko perkakas?”
“Aku tak ingat,” aku berkata dengan garing.

Mirna mendekat padaku, dan menaruh tangannya melingkari leherku. “Ini kesempatan
Ayah. Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”

Mirna memandangku tepat di mata dan mengangkat tubuhnya dan menciumku lama dan
liar. Aku ingin mendorongnya, tapi aku tak tahu dimana aku harus menaruh
tanganku. Aku tak mau menyentuh pinggang telanjang itu, dan jika aku menaruh
tanganku di dadanya aku pasti akan menyentuh puting susunya. Saat aku masih
terkejut dan bingung, aku temukan diriku menikmati ciumannya. Ini sudah terlalu
lama, dan aku merasa telah lupa akan rasa lapar yang mulai tumbuh dalam diriku.

Akhirnya aku menghentikan ciuman itu dan mundur dan melepaskan tangannya dari
leherku. “Kita tak bisa melakukannya.” aku mencoba menyampaikannya dengan lembut,
tapi aku takut itu kedengaran seperti rajukan.

“Ya kita bisa.” Mirna kembali menaruh lengannya di leherku dan mendorong bibirku
ke arahnya. Ada gairah yang lebih lagi dalam ciuman kali ini, dan akhirnya
penerimaanku. Kali ini saat kami berhenti, ada sedikit kekurangan udara diantara
kami berdua, dan aku semakin merasa sedikit bimbang.

Mirna memandangku dengan binar di matanya dan sebuah senyuman di bibirnya. “Ayah
menginginkanku. Aku bisa merasakannya. Ayah tak mendapatkan wanita setahun
belakangan ini, dan Ayah tak mempunyai tempat untuk melampiaskannya. Dan aku
menginginkan Ayah. Jadi tunggu apa lagi…”
Pada sisi ini aku tak mampu berkomentar. Aku menginginkannya. Tapi aku tak dapat
meniduri menantuku, bisakah aku? Tapi aku menginginkan dia. Aku merasa
pertahananku melemah, dan saat Mirna menciumku lagi, aku jadi sedikit terkejut
saat menyadari diriku membalas ciumannya dengan rakus.

“Mmmmm. Itu lebih baik,” katanya saat kami berhenti untuk mengambil nafas. Mirna
menarik tangannya dari leherku dan mulai melepaskan kancing celanaku saat
menciumku kembali lalu dia mundur. Jadi dia bisa melihat saat dia melepaskan
kancing jeansku, menurunkan resletingnya, dan merogoh ke dalam untuk
mengeluarkan barangku. Aku terkejut saat terlihat jadi tampak lebih besar di
genggaman tangannya yang kecil. Setahun sudah tak disentuh oleh wanita , dan
bereaksi dengan cepat, menjadi keras dan cairan pre-cumnya keluar saat dia
mengocoknya dengan lembut.

Mirna mundur dan duduk. Saat kepalanya turun, dia menempatkan bibirnya di
pangkal penisku yang basah. “Aku rasa aku menyukai bentuknya,” bisiknya sambil
menatap mataku. Lalu kemudian dia membuka mulutnya dan dengan perlahan
memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ke dalam dan lebih dalam lagi penisku
masuk dalam mulutnya yang lembut, hangat dan basah, dan aku merasa berada di
dalam vagina yang basah dan kenyal saat lidahnya menari di penisku. Akhirnya aku
merasa telah berada sedalam yang ku mampu, bibirnya menyentuh rambut kemaluanku
dan kepala penisku berada entah di mana jauh di tenggorokannya. Penisku tanpa
terasa mengejang, dan pinggangku bergerak berlawanan arah dengannya, dan bersiap
untuk menyetubuhi wajahnya.

Tapi Mirna perlahan menjauhkan mulutnya dariku, menimbulkan suara seperti sedang
mengemut permen. Saat dia bangkit untuk menciumku lagi, aku mengarahkan tanganku
diantara pahanya. Aku gosok jeansnya dan dia menggeliat karenanya. “Mmmm, itu
pasti nikmat,” katanya. “Tapi biar aku membuatnya jadi lebih mudah.”

Mirna melepaskan kancing celananya dan menurunkan resletingnya, memperlihatkan
celana dalam katunnya yang bergambar beruang kecil. Diturunkannya celananya dan
melepaskannya dari tubuhnya. Kami melihat ke bawah pada area gelap dibawah sana
dimana kewanitaannya bersembunyi, dan kemudian aku sentuh perutnya yang kencang
dan terus menurunkan celana dalamnya.

Mirna mengerang dalam kenikmatan saat tanganku mencapai sasarannya dibalik
celana dalamnya. Vaginanya serasa selembut pantat bayi, dan aku sadar kalau dia
pasti telah mencukurnya sebelum kemari. Terasa basah dan licin oleh cairan
kewanitaannya dan membuatku kagum karena itu tak menimbulkan bekas basah di luar
jeansnya. Saat tanganku menyelinap dibalik bibir vaginanya dan menyentuh
klitorisnya yang mengeras, dia memejamkan matanya dan menekan berlawanan arah
dengan jariku.

Mirna menaruh salah satu tangannya di leherku dan mendorong kami untuk sebuah
ciuman intensif berikutnya sedangkan tangannya yang lain mengocok penisku dan
tanganku terus bergerak dalam lubang basahnya. Saat kami berhenti untuk bernafas,
Mirna mundur dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan, “Yoyok datang.”

Aku segera melepasnya dan menuju jendela. Ya, mobil Yoyok terlihat di jalan
sedang menuju kemari. Mirna pasti melihatnya dari balik bahuku saat kami saling
mencumbui leher. Tiba-tiba perasaan bersalah datang menerkam karena hampir saja
ketahuan. Aku tak percaya apa yang hampir saja kami lakukan. Dengan tergesa-gesa
aku kenakan kemabali celanaku, tapi Mirna menghentikanku dan menangkap tanganku
dan melanjutkan kocokannya.

“Hei, tidak boleh. Tak semudah itu Ayah boleh mengakhirinya. Aku telah menunggu
terlalu lama untuk ini.”
“Tapi Yoyok hampir datang! Dia akan melihat kita!”

Mirna mengeluarkan penisku dan berjalan ke arah meja dapur. “Ini perjanjiannya,”
katanya. “Aku tak akan mengadu pada Yoyok tentang apa yang baru saja kita
lakukan kalau Ayah dapat dapat mengeluarkan seluruh sperma Ayah dalam vaginaku
sebelum dia sampai kemari.” Sambil berkata begitu, dia menurunkan celananya
hingga lutut dan membungkuk di meja itu.
“Dia segera datang!” hampir saja aku teriak.
“Tidak.” Mirna membentangkan kakinya sejauh celananya memungkinkan untuk itu dan
dia memandangku lewat bahunya. “Dia harus menggendong bayi dan mengeluarkan
semua barangnya. Biasanya dia memerlukan beberapa menit. Sekarang kemarilah dan
setubuhi aku.”

Mirna telah telanjang dari pinggang hingga kaki, dan dia memohon padaku agar
segera memasukkan diriku dalam tubuhnya. Aku menatap dua lubang yang mengundang
itu. Pantatnya begitu kencang dan aku tak terusik saat melihat lubang anusnya
yang berkerut kemerahan, dan di bawahnya, bibir vaginanya yang merah, terlihat
mengkilap basah. Kakinya tak sejenjang model, tapi lebih kecil dan terasa pas,
dan aku membayangkan bercinta dengannya beberapa jam.

Tangannya bergerak kebelakang diantara pahanya dan menempatkan tangannya pada
vaginanya. Dengan dua jarinya dilebarkannya bibir vaginanya hingga terbuka, dan
aku dapat melihat lubang merah mudanya mengundang penisku agar segera masuk. “Ayo,”
katanya. “Ambil aku.”

Aku tak tahu apa dia sedang bercanda saat mengatakannya. Yoyok atau bukan,
rangsangan ini lebih dari cukup untuk mereguk birahinya. Aku melangkah ke
belakang menantuku dan menempatkan penisku di kewanitaannya. Saat aku mendorong
penisku melewati lubang surganya yang sempit, aku dapat merasakan jari Mirna
menahan bibir madunya agar tetap terbuka, dan dia melenguh saat aku memegang
pinggangnya dan memasukkan diriku padanya.

Mirna telah sangat basah hingga aku dengan mudah melewati vagina mudanya yang
sempit. Aku mulai mengayunkan barangku di dalamnya, sebagian didorong oleh nafsu
akan tubuh menggairahkannya dan sebagian oleh rasa takut jika Yoyok memergoki
kami. Mirna mengerang, dan aku dapat merasakan jarinya menggosok kelentit dan
bibir vaginanya sendiri. Nafasnya mulai tersengal, dan setelah beberapa goyangan
dariku, dia segera orgasme. Suara rengekan pelan keluar dari bibirnya saat dia
mencengkeram pinggiran meja dengan kuat, dan letupan orgasmenya menggoncang kami
berdua saat aku menghentaknya.

Itu cukup untuk menghantarku. Aku tak berhubungan dengan wanita dalam setahun
ini, dan aku belum pernah mendapatkan yang sepanas Mirna. Aku menahan nafas dan
mendorong seluruh kelaki-lakianku ke dalam dirinya. Kami mematung, dan kemudian
spermaku menyemprot dengan hebat jauh di dalam surganya. Serasa aku telah
mengguyurnya dengan sperma yang panas dan berlebih. Dia mengerang dalam nikmat,
menggetarkan pantatnya di seputar penisku saat aku mengosongkan persediaan
benihku. Dia melemah seiring dengan habisnya spermaku, dan kami akhirnya
berhenti bergerak, kecuali untuk mengambil nafas.

Takut Yoyok akan datang sebelum kami sempat melepaskan diri, aku keluarkan
diriku dari tubuhnya dengan bunyi plop yang basah, lalu mundur menjauh dan
mengenakan celanaku. Mirna masih tetap berbaring tertelungkup di atas meja
merasakan kehangatan campuran cairan birahi kami, pantat telanjangnya masih
tetap memanggilku. Aku lihat spermaku dan cairannya mulai meleleh keluar dari
bibir surganya. Aku palingkan muka dan melihat Yoyok hampir sampai di pintu
belakang, bayi di tangan yang satu dan belanjaan di tangan lainnya.

Aku berbalik dan memohon pada Mirna. ” Ayolah!” kataku. “Kamu telah dapatkan
keinginanmu. Dia hampir sampai kemari.”

Mirna bangkit, tatapan matanya masih kelihatan linglung. Dia bergerak ke depanku,
menjadikanku sebagai penghalang dari pandangan suaminya saat dia dengan tergesa-gesa
memakai celananya.

“Apa kalian sudah siap untuk pertandingannya?” tanya Yoyok sambil membuka pintu.
“Ya,” aku menjawab dari balik punggungku saat aku diam untuk menghalangi Mirna
yang menaikkan resletingnya. Setelah dia selesai, aku segera berbalik untuk
menyambut Yoyok.

“Ini,” katanya, menyodorkan bayinya padaku dan meletakkan belanjaannya diatas
meja dapur.
“Urus ini, aku akan mengambil popok bayi.” Yoyok melangkah ke pintu yang masih
terbuka, dan aku menghampiri Mirna. Dia masih terlihat sedikit linglung.

“Hampir saja,” kataku.
“Sini, biar aku yang menggendongnya.”
Aku berikan bayinya. Mirna memberiku pemandangan seraut wajah dari seorang
wanita yang puas sehabis bersetubuh, dan memberiku ciuman hangat yang basah.

“Masih ada satu hal lagi yang harus kuketahui,”katanya.
“Apa itu?”
“Kalau aku ingin, bisakah aku mendapatkannya besok?”

Dan dia melenggang begitu saja tanpa menunggu jawabanku yang hanya melongo
bengong. Dia yakin kalau akan bersedia…